Rabu, 31 Maret 2021

Anak-Anak Pilihan

 



 

Judul                : Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko

Penulis             : Yosep Rustandi

Penerbit           : Indiva Media Kreasi

Dimensi           : 160 hlm; 20 cm

ISBN                 : 978-623-253-002-7

Harga              : Rp40.000,-

Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko adalah Pemenang Utama untuk Kompetisi Menulis Novel Anak Indiva yang dilaksanakan pada 2019 lalu. Novel yang sebenarnya memiliki konflik yang sederhana dengan alur yang mudah dimengerti. Meski begitu, ia memiliki nilai tinggi karena isinya.

Menceritakan tentang Alin, seorang anak yang hidup di garis kemiskinan bersama sahabatnya Jiko. Mereka berdua dan juga rekannya yang lain harus bekerja keras sepanjang hari untuk sekadar mengisi perut. Pekerjaan apapun mereka lakukan. Mulai dari berjualan koran hingga memulung barang bekas. Bagi mereka, yang penting tidak mencuri dan merugikan orang lain. Ajaran kedua orang tuanya itu, selalu Alin pegang dengan kuat.

Namun, suatu masa, Alin terpaksa mencuri. Bukan untuk dirinya, namun ibunya. Ibu Alin sakit keras. Sudah lama sang ibu ingin makan buah apel merah besar yang harganya tentu mahal. Dari sinilah cerita berawal. Setelah berhasil kabur dari kejaran penjual buah dan Dini, –orang yang apelnya Alin curi- Alin pun bingung. Bagaimana caranya memberikan apel tersebut pada sang ibu. Sebab, ibunya tak akan pernah memakannya jika tahu kalau apel tersebut hasil curian. Bersama dengan Jiko serta ‘buku ajaib’ milik Jiko, mereka memikirkan cara yang pas agar ibu mau menerimanya.

Di sisi lain, Dini masih sangat kesal dengan aksi pencurian apelnya. Ia terus-terusan marah meski telah ditenangkan Yasmin, sahabatnya. Sebenarnya, harga apel tersebut tak seberapa untuk Dini yang kaya dan bisa membeli apa saja dengan mudah. Tapi, dia tetap tidak suka. Ketidaksukaannya bertambah setelah Yasmin terus mengajaknya untuk mengajar di Sanggar Hati, tempat anak seperti Alin dan Jiko belajar. Walaupun tak mudah, pada akhirnya Yasmin berhasil meredam amarah Dini dan berhasil pula membujuk gadis itu untuk mengajar sebagai sukarelawan.

Di hari yang seharusnya cukup menyenangkan di Sanggar Hati tiba-tiba berubah mengesalkan untuk Dini sebab ia melihat salah satu anak yang mencuri apelnya ada di sana. Dia kembali mengamuk dan mengumpat. Tak selesai sampai hari itu saja, kekesalan Dini berlanjut ke hari-hari berikutnya sehingga membuat Yasmin ikut kesal. Akhirnya, dia mengajak Dini mengintai aktivitas anak-abak tersebut untuk mengetahui apa alasan sebenarnya anak-anak itu mencuri.

Sementara itu, setelah ketahuan mencuri, Jiko tak pernah lagi ke Sanggar Hati. Di sangat takut untuk ke sana padahal dia sangat suka belajar. Alin yang belum pernah datang ke Sanggar Hati pun bingung. Sebenarnya, dia juga sudah ingin belajar di sana. Namun setelah menderngar cerita Jiko, ia pun mundur. Mereka pun menghabiskan waktu dengan kembali bekerja apa saja. Tanpa mereka sadari, Yasmin, Dini dan kakak Dini sedang mengawasi mereka dari jauh, melihat kerasnya kehidupan yang mereka jalani.

Cerita yang sederhana namun sangat menarik. Pembaca disuguhkan bagaimana realita kehidupan sebenarnya. Ada si kaya yang bisa mendapatkan apa saja dengan mudah. Di sini lain, ada yang harus bekerja sangat keras. Jangankan untuk sekolah. Sekadar untuk makan saja susah.

Kita bisa melihat, bagaimana efek kesenjangan sosial untuk mereka yang kurang beruntung. Alin dan Jiko serta rekan-rekan mereka harus kerja keras padahal  di luar sana ada anak-anak lain yang bisa melakukan apa saja sesukanya. Mereka inilah anak-anak pilihan, sanggup menjalani kerasnya hidup namun tetap punya prinsip yang baik. Begitu juga dengan Dini dan Yasmin. Keadaan mereka mungkin tak buruk, namun keikhlasan hati mereka untuk berbagi ilmu dan mau berbaur dengan sesama mereka yang ada di bawah juga menjadikan mereka anak yang istimewa.

“Hidupku jadi hebat sekali setelah bisa membaca. Setiap hari aku membaca buku. Aku tahu banyak cerita, tahu bahwa bumi itu bulat, tahu ada pengobatan pertama bila ada yang luka....” (hal. 99).

Meski sedikit, ilmu yang dimiliki tetap akan bermanfaat, seperti yang selalu Jiko lakukan untuk menolong teman-temannya. Kita pun, tentu bisa melakukan yang terbaik dengan apa yang kita miliki. Oleh sebab itulah kenapa buku ini bisa dijadikan bahan bacaan untuk anak. Selain menarik, ia juga sangat menginspirasi. Banyak hal yang bisa dipetik dari buku ini, tak hanya soal mempraktikkan ilmu yang bermanfaat, tapi juga soal kejujuran, kedisplinan dan ikhlas.

 

Kamis, 25 Maret 2021

Selalu Ada Hikmah di Setiap Hal yang Terjadi

 


Judul                    : Gara-Gara Game Online

Penulis                  : Fery Lorena Yanni, Yosep Rustandi,

  Fitria Susandi, dkk.

Penerbit                : Indiva Media Kreasi

Dimensi                : 144 hlm; 20 cm

ISBN                    : 978-623-253-007-2

Harga                    : Rp39.000,-

 

Selalu ada hikmah di setiap hal yang terjadi. Mungkin, kalimat itulah yang cocok dijadikan sebagai kesimpulan untuk cerpen-cerpen yang ada di dalam kumcer Gara-Gara Game Online ini. Bagaimana tidak, di setiap cerita, baik itu berawal baik atau tidak, selalu ada yang dapat diambil sebagai pembelajaran untuk memperbaiki sikap dan perbuatan kita.

Gara-Gara Game Online adalah salah satu judul cerpen dalam kumcer ini yang menceritakan tentang Cika, seorang anak SD yang sedang mengikuti wisata sekolah. Dari judulnya saja, bisa ditebak apa yang terjadi, kan? Cika yang beralasan ingin mengabadikan momen selama wisata sekolah akhirnya diizinkan membawa ponsel. Namun, selama perjalanan, dia malah asik memainkan game di perangkat tersebut hingga tak mengindahkan arahan guru. Ia bahkan sampai melewatkan makan dan waktu istirahat.

Meski sudah ditegur berkali-kali, dia tetap tak acuh. Gara-gara keasikan, dia berpisah dengan rombongan dan tertinggal saat bus berjalan kembali. Baterai ponsel habis dan tak ada yang dikenal di sana. Cika pun hanya bisa menangis. Untungnya, rekan dan guru Cika menyadari tepat waktu kalau gadis itu ketinggalan dan putar balik menjemputnya. Cika pun akhirnya sadar dengan kesalahannya. Oleh karena terlalu terpaku pada ponsel, dia jadi tak memperhatikan sekitar. Sejak saat itu, dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.

Nah, dari cerita ini, kita bisa mengambil kesimpulan untuk tidak menggunakan gawai berlebihan. Boleh saja menggunakannya, asal ingat waktu. Jangan sampai dikuasai dan melupakan hal yang lebih penting. Tentu saja, ini tak hanya berlaku untuk gawai saja, yang lainnya juga.

Selain cerita ini, masih ada sepuluh cerita lain yang bisa ditemukan di buku ini. Salah satunya adalah Rahasia Allah yang jadi cerita pembuka. Kisah ini berawal dari keheranan rekan-rekan Ahmad karena dia tiba-tiba bersikap aneh. Sikap anehnya adalah ia menjadi sangat peduli dengan hal kecil seperti ranting dan batu di jalan sehingga memindahkannya. Bukan hanya itu saja, Ahmad juga berniat menimbun lubang besar di jalan perumahan. Meski heran dengan perubahan tersebut, rekan Ahmad bersedia membantu saat Ahmad mengutarakan keinginannya.

Di waktu yang sudah dijanjikan, rekan-rekannya datang ke rumah Ahmad. Sayang, ternyata Ahmad sudah berangkat lebih dulu. Meski begitu, dia tetap disambut hangat oleh orang tua Ahmad.. Akhirnya, tahulah mereka apa yang menyebabkan Ahmad berubah. Ayah Ahmad baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas yang membuatnya tak bisa bekerja untuk sementara waktu. Sejak saat itu, keluarga Ahmad hanya bergantung dari gaji ibu yang tak seberapa. Kontan saja setelah mendengar cerita tersebut, rekan-rekan Ahmad segera berangkat menuju anak tersebut dan membantu memperbaiki jalan. Siapa sangka, kebaikan mereka, ada rezeki yang tak terduga datang.

“Rezeki itu rahasia Allah. Rezeki bisa datang dari yang kita usahakan dan dari yang tidak kita usahakan.” (hal. 8). Seperti itulah kata-kata Danang pada Ahmad yang bisa juga jadi kesimpulan dari cerita ini. Kita memang tak bisa menduga rezeki. Hal yang harus kita lakukan hanyalah berusaha dan tetap ikhlas.

Selain dua cerpen tersebut, masih ada lagi cerpen-cerpen lain yang sarat pengajaran kebaikan. Di antaranya adalah Bule Arab, Mengaji Bersama Bapak, Koleksi Sindi, Sepatu untuk Naeli dan lainnya. Semua kisah ini ditulis dengan bahasa yang ringkas dan sangat mudah dipahami bahkan oleh anak-anak.

Tak salah dengan tema yang diusung buku ini. Seri Pendidikan Karakter untuk Anak. Cerita-ceritanya memang mengajarkan hal-hal baik melalui kejadian sehari-hari yang bisa diambil hikmahnya. Misalnya saja pada cerpen Mengaji Bersama Bapak. Tokoh utama awalnya malu dengan keadaan bapsaknya yang baru belajar mengaji di TPA yang sama dengannya. Ia melarang ayahnya untuk belajar di sana. Tapi, berkat pencerahan yang diberikan sang guru mengaji, akhirnya dia menyadari apa salahnya. Sebab rasa malu dan egonya, bapaknya tak bisa belajar mengaji. Untungnya, dia segera menyadari kesalahannya.

Cerita yang menarik dan mengajarkan kebaikan tak melulu tentang hal besar seperti yang ada pada cerita-cerita superhero. Dari cerita yang mengangkat tema kehidupan sehari-hari dan hal yang sering terjadi di sekitar pun sama. Paling penting, kita bisa memetik hikmah yang ada di setiap kejadian. Menjadikannya contoh untuk melangkah ke arah yang lebih baik dan membentuk karakter dan sikap yang baik pula.

Kamis, 18 Maret 2021

Masalah Sosial Kesetaraan Gender di Korea

 




Judul               : Kim Ji-Yeong, Lahir Tahun 1982

Penulis             : Cho Nam-Joo

Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan           : III, Januari 2020

ISBN               : 978-602-0636-191

Kim Ji-Yeong, Lahir Tahun 1982 adalah salah satu dari sekian banyak novel Korea Selatan yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Novel ini bisa dibilang sangat kontroversial di negaranya sendiri karena mengangkat isu yang tabu di tempat kelahirannya. Meski saat ini Korea Selatan sudah membebaskan masyarakatnya untuk mengemukakan pendapat, baik itu untuk pria maupun wanita, nyatanya tetap ada hal yang tak bisa dibantah sejak dulu. Salah satunya adalah rasa hormat berlebihan kepada orang tua dan budaya patriarki.

Pandangan bahwa perempuan tak boleh membantah laki-laki hingga istri yang harus tetap di rumah mengurus keluarga masih sangat kental di sana. Parahnya lagi, diskriminasi gender ini seolah dibiarkan saja dalam sistem masyarakat negara tersebut.

Kim Ji-Yeong sendiri adalah anak perempuan kedua keluarga Kim. Ia lahir di keluarga yang sangat mengharapkan anak laki-laki. Di lingkungan keluarga, ia dan kakak perempuannya selalu mendapatkan giliran paling akhir. Yang selalu mengambil nasi lebih dulu adalah ayah, kemudian adik laki-laki dan nenek lalu ibu. Begitu juga dalam pembagian makanan dan lainnya. Ayah dan adik laki-laki selalu mendapatkan yang paling bagus dan bebas mengambil sebanyak apapun, sedangkan mereka mendapat sisa. (Hal. 23-24).

Tak hanya di rumah, di sekolah, Kim Ji-Yeong dan anak perempuan lain juga mendapat diskriminasi yang sama bahkan dari guru mereka. Misalnya masalah pakaian. Anak laki-laki bisa menggunakan kemeja dengan kancing terbuka, sepatu olahraga dan lainnya. Sedangkan bila murid perempuan yang melakukannya, mereka akan mendapat hukuman.

Diskriminasi di Dunia Kerja

Nyatanya, menurut novel ini, diskriminasi yang terjadi terhadap wanita di Korea Selatan tak hanya sampai di tahap keluarga dan sekolah saja. Di dunia kerja yang lebih luas, diskriminasi pun ada. Bahkan lebih parah. Wanita di Korea sangat sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Meskipun ada, gaji yang diterima jauh lebih rendah dibanding pekerja laki-laki. Jumlah pekerja wanita pun sangat timpang.

Contoh dari novel ini adalah Kim Ji-Yeong, meski ia adalah mahasiswi berprestasi, namun ia tak pernah mendapat rekomendasi dan promosi dari dosen untuk bekerja di perusahaan. Sebaliknya, mahasiswa laki-laki yang biasa-biasa saja mendapatkan promosi dengan mudahnya tanpa harus berusaha keras.

 

Menurut statistik yang dikeluarkan oleh OECD atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi, Korea Selatan adalah negara yang memiliki selisih pendapatan paling besar antara pria dan wanita. Dari data pada tahun 2014 lalu, jika pekerja pria mendapat penghasilan 1.000.000 Won, maka rata-rata penghasilan wanita Korea hanya sekitar 633.000 Won padahal beban kerja yang mereka rasakan bisa dikatakan sama. (hal. 123)

Kebanyakan dari pekerja wanita biasanya akan berhenti tatkala mereka menikah atau memiliki anak karena tekanan dari berbagai sisi seperti yang terjadi pada tokoh utama novel ini. Jadi, serba salah sebenarnya bila kembali ditilik dari segi patriarki masyarakatnya. Di satu sisi, bila memilih bekerja, mereka akan dikatakan wanita yang tak menuruti kodrat dan tak bertanggung jawab. Namun, bila memilih menjadi ibu rumah tangga, mereka akan mendapat celaan lain yang sama buruknya.

Tak heran kalau saat ini, Korea menempati urutan bawah pada survei yang dilakukan World Economic Forum tentang kesetaraan gender pada tahun 2019 lalu. Lebih tepatnya, mereka berada di posisi 115 dari 149 negara. Angka tersebut lebih buruk dari Indonesia yang berada di posisi 85, meskipun hal tersebut juga bukanlah hal yang bisa dibanggakan.

Berhenti Menyalahkan Korban Pelecehan Seksual

Di buku ini, kita bukan hanya menemukan masalah patriarki yang sudah mendarah daging. Penulisnya juga menggambarkan bagaimana dengan mudahnya orang -bahkan yang terdekat sekalipun- memberikan stigma negatif dan menyalahkan korban pelecehan seksual.

Ada satu bagian yang mengisahkan saat Ji-Yeong pulang dari tempat kursus di malam hari. Ia hampir saja mendapatkan perlakukan kurang menyenangkan dari seorang pelajar laki-laki. Untungnya, ia diselamatkan oleh seorang wanita dewasa yang menyadari perilaku tak beres dari Ji-Yeong.

Alih-alih memberikan dukungan, sang ayah yang datang menjemput di halte malah memberikan nasihat yang lebih seperti menyalahkan. Kenapa harus pergi kursus ke tempat yang jauh? Kenapa bicara pada sembarang orang bahkan menyalahkan pakaiannya.

Dalam situasi ini, sebagian orang mungkin akan berpikir bahwa semua yang dikatakan sang ayah adalah untuk menyelamatkan Ji-Yeong. Padahal, hal tersebut tidak juga benar. Sang ayah harusnya bisa fokus menenangkan dan melindungi, bukan malah menyalahkan. Sampai di sini, hal ini juga kerap kita temui di kehidupan sehari-hari, kan? Jadi, berhentilah menyalahkan korban. Kita tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Kesehatan Mental

Apalagi yang bisa dipetik dari kisah ini? Isu kesehatan mental adalah yang paling utama. Bahkan, isu tersebut mengambil porsi yang besar dalam kisah Kim Ji-Yeong, Lahir 1982 ini.

Kim Ji-Yeong adalah seorang ibu rumah tangga yang bisa dibilang kehilangan jati diri setelah menikah dan punya anak. Ia disibukkan dengan segudang rutinitas dari pagi hingga malam hari. Bisa dibilang, ia harus berkorban banyak untuk pernikahan yang dijalaninya. Salah satunya adalah kehilangan pekerjaan yang amat ia cintai. Oleh sebab itu, pada satu titik ia seringkali merasa kosong.

Ia memiliki kerinduan yang besar untuk kembali bekerja dan berkumpul bersama teman-temannya. Tapi, ia juga sadar posisinya sangat sulit. Belum lagi tekanan ibu mertua yang mengharuskannya untuk tetap di rumah dan mengurus buah hatinya. Hal itu membuat Ji-Yeong makin kehilangan arah. Untungnya, Dae-Hyeon cepat sadar. Suaminya merasa Ji-Yeong butuh penanganan profesional secepatnya.  Meski Dae-Hyeon cepat sadar, namun beberapa orang di sekitarnya masih tak peduli. Salah satunya ibu mertua yang menganggap Ji-Yeong hanya sakit fisik saja.

Keadaan ini sebenarnya bukan suatu yang awam. Di negara sendiri, masih sangat banyak orang yang menganggap penyintas kesehatan mental ini hanya mencari perhatian, kurang iman dan lainnya. Hal inilah yang membuat banyak orang memilih diam dan enggan bicara atas apa yang mereka alami. Jangan heran, bila pada akhirnya banyak yang lebih memilih untuk mengakhiri hidup.

Kim Ji-Yeong adalah kita. Sepenggal kalimat yang sempat booming beberapa waktu lalu seiring dengan peluncuran filmnya. Dari buku maupun filmnya, kita memang seolah bisa merasakan bagaimana rasa sakit, ketidakadilan dan depresi yang dialami tokoh utama. Penulisnya benar-benar bisa menggambarkan dengan jelas semuanya rasa itu dan inilah kelebihannya.

Cho Nam-Joo berhasil menulis cerita ini dengan sederhana dan dibagi dalam beberapa babak maju mundur. Wajar saja kalau novel yang sudah dibuatkan filmnya ini mendulang kontroversi di negaranya sendiri sebab kebanyakan wanita Korea mengiyakan apa yang terjadi di dalam novel ini benar-benar terjadi di kehidupan mereka.

 

 

Anak-Anak Pilihan

    Judul                 : Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko Penulis             : Yosep Rustandi Penerbit            : Indiva Medi...